Saat Tanggung Jawab Sosial Jadi Gimmick: Menulusuri Greenwashing di Perusahaan Indonesia

Oleh : Ibrahim, M.Ak.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak dari perusahaan menerapkan prinsip ekonomi hijau (green economy), hingga berlomba-lomba untuk menampilkan citra “hijau”. Tentu sangat mudah ditemukan berbagai produk yang berlabel eco-friendly di pasaran, mulai dari produk kebutuhan sehari-hari hingga produk perawatan diri dan fesyen. Ini terjadi seiring dengan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap krisis iklim yang menjadikan kesadaran lingkungan sebagai tren menjanjikan.

Penerapan green economy sebagai salah satu dari sekian strategi transformasi di bidang perekonomian global yang memegang peran strategis sebagai “game changer” di masa yang akan datang, khususnya dalam mengarahkan paradigma pembangunan di bidang ekonomi yang berkelanjutan. Berdasarkan laporan terakhir yang dipublikasikan oleh Bappenas di tahun 2022, secara umum skor Green Economy Index (GEI) Indonesia mengalami peningkatan selama satu dekade terakhir. Di tahun 2024 lalu, Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara Asia Tenggara dengan skor GEI 41, di bawah Malaysia (43), dan Singapura (55). Skor indeks tersebut dipublikasikan oleh Bain & Company yang bekerjasama dengan berbagai pihak.

Mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah, tentunya prinsip green economy menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi perusahaan Indonesia. Dengan kondisi ini, apakah Indonesia masih berada di persimpangan jalan dalam mengelola pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kemudian, benarkah strategi yang diadopsi oleh perusahaan di Indonesia yang menyertakan label “hijau”nya, sebagai upaya yang sungguh-sungguh sebagai komitmen terhadap lingkungan dan sosialnya. Atau justru hal tersebut merupakan salah satu strategi jebakan gimmick belaka yang bernama greenwashing.

Greenwashing merupakan suatu strategi yang digunakan oleh perusahaan agar terlihat sangat peduli terhadap dampak lingkungan. Contohnya mengkampanyekan produk dan layanan ramah lingkungan, padahal nyatanya mereka tidak benar-benar melakukan sesuatu yang berdampak dalam kelestarian lingkungan. Terkadang, apa yang mereka kampanyekan itu justru bisa menyesatkan.Perusahaan seringkali menetapkan target untuk menjadi entitas yang lebih ramah lingkungan, tetapi mereka belum tahu bagaimana cara mencapainya. Ini lebih seperti bentuk optimisme yang belum sampai kepada tahap nyata, bukan karena tidak mau, tapi mungkin karena terbentur oleh keterbatasan atau kurangnya arah yang jelas.

Sepatutnya, perusahaan telah memiliki suatu kewajiban yang harus dipenuhi. Adalah tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal Corporate Social Responsibility (CSR). Secara sederhana, CSR didefinisikan sebagai konsep di mana organisasi tidak hanya berfokus pada keuntngan saja, tetapi juga ikut bertanggung jawab secara sosial. Misalnya, menjaga lingkungan dengan mengurangi timbulan limbah atau emisi, menjalankan aktivitas perusahaan secara etis dan transparan, hingga memberdayakan sosial masyarakat sekitar.

Hingga saat ini, CSR masih menjadi pembahasan yang berkembang baik di dunia praktis maupun akademis. Ditemukan bahwa CSR memiliki dampak yang menguntungkan bagi suatu perusahaan. Meskipun dalam tinjauan peneliti tentang implementasi CSR pengaruhnya tidak nyata dalam jangka pendek maupun panjang. Kendati demikian, reputasi positif di hadapan para stakeholder dapat berpengaruh terhadap keberlanjutan bisnis di masa yang akan datang.

CSR di Indonesia bukan sekadar pilihan moral, tapi sudah menjadi kewajiban hukum, terutama bagi perusahaan yang terlibat langsung dengan sumber daya alam. Salah satu peraturan yang melegitimasi kewajiban pelaksanaan CSR bagi perusahaan di Indonesia adalah PP No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas.

Salah satu unsur implementasi CSR yaitu adalah kelestarian lingkungan, hal ini tentu beririsan dengan tujuan green economy. Indikator lingkungan dalam Corporate Social Responsibility Disclousure Index (CSRDi) berdasarkan Global Reporting Initiative (GRI) 300, di mana beberapa indikator menuntut bagi perusahaan untuk memiliki kebijakan perusahaan, penggunaan energi termasuk efisiensi energi, upaya pengurangan pencemaran lingkungan. Tentunya dengan kepatuhan bagi perusahaan atas regulasi CSR tersebut telah menunjukkan bahwa perusahaan telah menerapkan green economy.

Kenapa Greenwashing Masih Marak

Di era saat ini, di mana tingkat kesadaran lingkungan meningkat perusahaan menghadapi tantangan signifikan dalam mengkampanyekan green economy secara efektif dengan menghindari tuduhan greenwashing. Namun pada faktnya, sikap skeptis masyarakat menjadi efek bumerang bagi perusahaan atas segala aktivitas yang berkaitan dengan kampanye tersebut. Baik dari sisi pemasaran hijau, promosi atau iklan yang membahas tentang kelestarian lingkungan.

Dengan demikian, perusahaan dituntut untuk tetap pada garis patuh dalam hal ini mengurangi dampak lingkungan secara nyata. Seperti yang diketahui, greenwashing kian tumbuh subur bukan semata karena diinginkan oleh perusahaan, melainkan terdapat ruang kosong antara niat baik, tuntuan pasara, dan lemahnya regulasi. Tantangan ke depan bukan hanya soal menindak, melainkan kesadaran kolektif agar keberlanjutan tidak berhenti di kampanya, tapi benar-benar menyentuh cara kerja dan hasil nyata.

Sebagai bukti nyata, dalam suatu penelitian empiris menyatakan, beberapa perusahaan kerap menyampaikan kesan bahwa mereka telah berhasil mencapai kemajuan besar dalam hal pelestarian lingkungan. Tapi sayangnya, pernyataan itu sering tidak disertai dengan bukti yang jelas atau penjelasan yang transparan. Dalam penelitian ini, seluruh perusahaan yang diamati mengaku telah berhasil menurunkan emisi karbon secara signifikan. Namun, mereka tidak menjelaskan secara rinci bagaimana pengukuran itu dilakukan metodenya pun tidak dijelaskan secara terbuka.

Di sisi lain, perusahaan juga cenderung menggunakan istilah yang terdengar positif namun terlalu umum saat membicarakan praktik ekonomi hijau. Misalnya, klaim seperti “mengurangi penggunaan energi” atau “meningkatkan efisiensi air” terdengar baik, tapi tanpa data awal atau acuan yang jelas, sulit bagi publik atau pemangku kepentingan untuk benar-benar memahami seberapa besar dampaknya.

Implikasinya yaitu menurunnya tingkat kepercayaan para pemangku kepentingan kepada perusahaan. Jika klaim di atas tidak dapat dibuktikan secara nyata, maka yang terjadi yaitu penurunan reputasi perusahaan. Dengan demikian, hal tersebut tentunya akan berdampak pada nilai bisnis yang dimiliki perusahaan. Ketika perusahaan masih tenggelam dalam praktik tersebut untuk meningkatkan citra, dapat dimungkinkan perusahaan cenderung mengabaikan kebutuhan untuk melakukan perubahan mendasar dalam aktivitas bisnisnya.

Apakah Label “Hijau” Dapat Menjadi Jaminan?

Tentu saja tidak, label dengan konteks “hijau” atau “eco-friendly” bukanlah satu-satunya jaminan bagi produk atau layanan di satu perusahaan benar-benar peduli terhadap lingkungan. Misalnya produk dengan label “zero waste” atau “biodegradable”, di mana ditemukan bahwa klaim tersebut belum benar dapat dibuktikan. Dalam penelitian ditemukan bahwa, plastik dengan bahan biodegrable yang biasanya dikenal dengan plastik sekali pakai, dan juga lebih ramah lingkungan minimal masih membutuhkan 3 tahun lebih untuk dapat terurai. Hal ini menunjukkan bahwa produk yang dikemas dengan kampanye ramah lingkungan sekalipun belum benar-benar terhindar dari kerusakan lingkungan.

Mengatasi greenwashing bukan hanya soal menindak perusahaan yang menyampaikan klaim palsu, tapi juga membangun ekosistem yang mendorong kejujuran dan transparansi. Perusahaan perlu lebih terbuka dalam menunjukkan data dan langkah nyata yang mereka ambil, bukan sekadar slogan “hijau”. Pemerintah pun punya peran penting dalam memperkuat aturan dan memastikan klaim lingkungan bisa dipertanggungjawabkan. Dan yang tak kalah penting, masyarakat juga termasuk kita sebagai konsumen perlu lebih kritis dan sadar, agar hanya praktik yang benar-benar berdampak yang mendapat dukungan. Karena pada akhirnya, kepercayaan dibangun dari tindakan, bukan dari kata-kata yang manis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *